Imunisasi penting dilakukan agar setiap bayi dan anak mampu melawan penyakit menular dan berbahaya. Kalau anak tidak diberikan imunisasi dasar lengkap, maka tubuhnya tidak punya kekebalan yang spesifik terhadap penyakit tertentu.
Bila kuman berbahaya yang masuk cukup banyak maka tubuhnya tidak mampu melawan kuman tersebut sehingga bisa menyebabkan sakit berat, cacat atau meninggal.
Meski begitu, masih banyak masyarakat yang menolak pemberian imunisasi. Alasannya beragam. Masalah keamanan hingga halal tidaknya kandungan vaksin termasuk di antaranya.
Faktanya? Pemberian vaksin di Indonesia telah terbukti menekan sejumlah penyakit berbahaya, seperti polio dan cacar. Pada tahun 2020 ini, pemerintah bahkan menargetkan Indonesia terbebas dari penyakit campak dan rubella.
Ya, masyarakat dan orang tua harus memahami info yang benar seputar imunisasi, agar tidak gelisah atau ragu karena isu yang salah, yang disebarkan oleh seseorang yang bukan praktisi atau ahli imunisasi. Sebab, tidak benar bahwa vaksin berbahaya, dibuat dari janin bayi, mengandung bahan berbahaya, hingga mengakibatkan autisme atau kematian.
Teknologi pembuatan dan isi vaksin zaman sekarang pun sangat berbeda dengan vaksin zaman dahulu.
Apalagi? Simak beberapa fakta seputar vaksin dan imunisasi yang kumparanMOM rangkum dalam tanya jawab di bawah ini.

Anak yang minum ASI, benarkah tidak perlu diimunisasi?

ibu menyusui Foto: Shutterstock
Prof. Dr. dr. Soedjatmiko, SpA(K), MSi, Dokter Spesialis Anak yang juga Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), menjelaskan, ASI memang diperlukan untuk menunjang kekebalan tubuh anak. Bayi di atas usia 6 juga perlu mendapat makanan pendamping ASI yang lengkap dan seimbang.
Selain itu, Anda juga perlu membiasakan anak untuk cuci tangan dengan sabun untuk menghindari diri dari kuman-kuman penyakit berbahaya. Meski begitu, Prof. Soedjatmiko mengharuskan anak tetap diberi imunisasi.
“ASI dan hal-hal itu tidak menimbulkan kekebalan spesifik terhadap penyakit-penyakit berbahaya, sehingga anak tetap perlu diimunisasi,” jelas Prof. Soedjatmiko dalam keterangan tertulisnya kepada kumparanMOM beberapa waktu lalu.

Sudah diimunisasi, tapi kok, tetap kena penyakit?

Imunisasi untuk anak.  Foto: Shutterstock
Ya Moms, Anda mungkin bertanya-tanya, kenapa anak masih terkena influenza padahal sudah dicegah oleh imunisasi. Menurut Prof. Soedjatmiko, setelah diimunisasi, anak memang masih bisa tertular penyakit, tetapi jauh lebih ringan dan tidak berbahaya.
Dengan imunisasi yang lengkap dan teratur, kata Prof. Soedjatmiko, tubuh bayi anak dan remaja dirangsang oleh vaksin membentuk zat kekebalan spesifik dalam kadar yang tinggi, sehingga mampu mencegah terjadinya wabah, sakit berat, cacat atau kematian akibat penyakit-penyakit tersebut.

Bayi sedang batuk pilek, boleh diimunisasi enggak, ya?

Bayi mendapat imunisasi. Foto: Shutterstock
Bayi dan balita yang sehat ceria walau sedang batuk pilek ringan tanpa demam (misal karena iritasi atau alergi), atau diare ringan, menurut Prof. Soedjatmiko, boleh diimunisasi dan tidak berbahaya.
“Kalau imunisasi tertunda melewati jadwal yang ditentukan, tidak hangus, dan tidak perlu diulang. Lanjutkan imunisasi sesuai urutan,” jelas dokter yang juga merupakan Staf Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.

Bagaimana bila imunisasi tertunda atau mundur dari jadwal?

Imunisasi untuk anak.  Foto: Shutterstock

zoom-in-white
Prof. Soedjatmiko menyarankan agar mendapat imunisasi teratur dan mengikuti jadwal yang ditentukan oleh negara masing-masing. Ya Moms, kekebalan dan perlindungan akan optimal kalau imunisasi teratur sesuai jadwal dengan jarak sesuai yang direkomendasikan.
Kalau ada beberapa imunisasi tertunda, atau belum sempat diimunisasi, berarti belum punya kekebalan spesifik, sehingga kemungkinan anak Anda akan mudah terserang penyakit tersebut, dan sakitnya akan lebih berat dan lebih lama.
Kalau jarak antar imunisasi yang sama terlalu jauh atau terlalu dekat dari jadwal yang dianjurkan, maka kekebalannya tidak optimal. Maka usahakan imunisasi teratur dan lengkap, sesuai jadwal yang direkomendasikan di negara masing-masing.

Perlukah anak ikut program imunisasi di usia sekolah?

Imunisasi anak di sekolah. Foto: Shutter Stock
Jawabannya: sangat perlu, Moms. Hal itu karena, hasil imunisasi saat bayi dan balita, kekebalannya akan menurun perlahan, sehingga pada usia sekolah dan remaja, anak berisiko mudah tertular oleh penyakit- penyakit tersebut.
Pada usia sekolah dan remaja, anak biasanya beraktivitas selama 7-8 jam/hari. Di waktu tersebut, mereka saling berinteraksi aktif dengan banyak anak dari berbagai lokasi rumah tinggal, sehingga mempertinggi risiko tertular dan menularkan. Oleh karena itu, anak tetap perlu mendapat imunisasi lagi di usia sekolah dan remaja sesuai dengan yang direkomendasikan Kementerian Kesehatan RI dan IDAI.

Kenapa imunisasi ada yang wajib dan tidak?

Imunisasi untuk anak.  Foto: Shutterstock
Di Indonesia, pemberian dan penyelenggaraan imunisasi telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013. Pada pasal 3, disebutkan berdasarkan sifat penyelenggaraannya, imunisasi dikelompokkan menjadi dua, yakni imunisasi wajib dan pilihan.
Imunisasi wajib adalah vaksin yang diwajibkan pemerintah secara nasional, seperti diantaranya Bacillus Calmette Guerin (BCG), Diphtheria Pertusis Tetanus-Hepatitis B (DPT-HB) atau Diphtheria Pertusis Tetanus-Hepatitis B-Haemophilus influenza type B , Hepatitis B, Polio, dan Campak.
Sementara imunisasi pilihan didefinisikan sebagai imunisasi yang dapat diberikan kepada seseorang sesuai kebutuhannya. Contoh imunisasi pilihan yakni Pneumokokus, Rotavirus, Influenza, Japanese Encephalitis B, Rabies, MMR, Demam Tifoid, Cacar air, Hepatitis A, Kanker Leher Rahim (HPV) dan Meningitis untuk jemaah haji.
Imunisasi pilihan tidak diwajibkan secara nasional oleh pemerintah bukan karena tidak penting, Moms. Semua imunisasi penting.
Mengutip siaran pers Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang diterima kumparanMOM, penamaan imunisasi wajib dan tidak dikarenakan pemerintah baru mampu menyediakan subsidi untuk sebagian vaksin-vaksin tersebut.
Pemerintah memang memberi subsidi untuk imunisasi wajib sehingga bisa didapatkan secara gratis di puskesmas maupun posyandu. Sementara untuk imunisasi pilihan seperti Pneumokokus, HPV, dan Japanese Encephalitis baru diprioritaskan pemerintah di beberapa provinsi berdasarkan pertimbangan pola penyakit dan anggaran.
“Vaksin-vaksin itu (imunisasi pilihan) sama pentingnya dengan imunisasi wajib karena terbukti mencegah sakit berat, cacat, dan kematian,” jelas Prof. Dr. dr. Soedjatmiko.

Anak demam setelah imunisasi, apa normal?

Ilustrasi anak demam setelah imunisasi. Foto: Shutterstock

Pada beberapa kasus, ada anak-anak yang setelah diimunisasi mengalami beberapa masalah kesehatan, seperti demam, bengkak, atau timbul kemerahan di kulit. Mengutip laman resmi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), hal tersebut sebenarnya wajar dan disebut dengan istilah Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).
Reaksi pasca imunisasi, menurut Prof. Soedjatmiko, biasanya berlangsung selama 3-4 hari, walaupun beberapa anak bisa saja mengalaminya lebih lama. Anda tak perlu khawatir berlebihan dengan KIPI, karena IDAI memastikan KIPI berat sangat jarang terjadi. Kemungkinan KIPI berat 1 kejadian dalam 2 juta dosis. Sehingga jika ada 22 juta balita, kemungkinan terjadinya KIPI berat sekitar 11 anak.
“Demam setelah imunisasi tidak ada hubungan dengan kualitas vaksin atau kualitas perlindungannya,” katanya.
Mungkin si kecil akan lebih rewel karena ia pun tak merasa nyaman dengan demam yang tengah menyerangnya, Moms. Prof. DR. dr. Soedjatmiko menyarankan orang tua untuk memberikan obat penurun panas tiap 4 jam sesuai dosis yang dianjurkan oleh dokter. Ia melanjutkan, bila panas tinggi, atau berlanjut lebih dari 2 hari, sebaiknya dibawa kembali ke tempat imunisasi, untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Imunisasi tunggal atau kombinasi, apa maksudnya?
Imunisasi untuk anak.  Foto: Shutterstock
Imunisasi kombinasi merupakan pemberian vaksin yang mengandung sejumlah antigen penyakit yang diberikan dalam satu kali suntikan. Sedangkan imunisasi simultan atau tunggal adalah memberikan beberapa vaksin pada waktu kunjungan yang sama, dengan beberapa suntikan di tempat yang berbeda.
Dari segi manfaat, menurut IDAI, vaksin tunggal dan kombinasi punya kesamaan dalam potensi dan keamanan. Perbedaan kedua jenis vaksin itu terletak pada jumlah pemberian suntikannya.
Ya Moms, vaksin kombinasi atau vaksin kombo dinilai lebih punya beberapa keunggulan, seperti mengurangi jumlah suntikan yang diterima bayi, meringankan biaya kunjungan ke dokter, serta menghemat waktu dan membantu ibu lebih mudah melengkapi vaksinasi sesuai dengan jadwal.

Lebih baik mana, imunisasi dengan atau tanpa demam?

imunisasi Foto: Shutterstock
Dokter spesialis anak, dr. Kanya Fidzuno, Sp.A menjelaskan bahwa baik imunisasi yang bisa menyebabkan demam atau tidak, sama-sama baik dan aman diberikan untuk anak. Imunisasi dengan demam atau tidak sama-sama bisa melindungi anak dari berbagai penyakit yang berbahaya bahkan mematikan, Moms.
“Jadi kalau nanya lebih bagus otomatis ke proteksinya ya. Itu sama saja sebenarnya,” ujar dr Kanya Fidzuno, Sp.A saat ditemui kumparanMOM beberapa waktu lalu.
Sebagai pertimbangan, Anda juga perlu tahu, vaksin tanpa demam harganya relatif jauh lebih tinggi dibanding vaksin dengan demam. Menurut Prof Dr dr Soedjatmiko, SpA(K), MSi, dokter spesialis anak yang juga Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, vaksin tanpa demam lebih mahal karena proses pembuatannya lebih rumit.

Bagaimana cara merawat luka bekas imunisasi di lengan anak?

Luka imunisasi di lengan anak.  Foto: Shutterstock
Kemerahan, nyeri dan bengkak sedikit di sekitar suntikan, menurut Prof. Soedjatmiko adalah reaksi wajar, tidak berbahaya dan akan hilang dalam beberapa hari. Salah satu imunisasi yang biasanya menimbulkan luka di tangan adalah imunisasi BCG.
Dr. Natharina Yolanda dalam tulisannya di laman IDAI, mengungkap, bila setelah penyuntikan vaksin BCG terjadi bisul atau luka bernanah, itu pun normal terjadi, Moms.
Secara alamiah, bisul akan sembuh dan meninggalkan bekas berupa jaringan parut yang datar berdiameter 2 – 6 mm. Jaringan parut tersebut biasanya terbentuk dalam waktu 3 bulan. Sebaliknya, bila tidak terbentuk bisul, Anda juga tak perlu khawatir sebab bukan berarti vaksin BCG gagal atau tidak terbentuk proteksi, sehingga tidak perlu dilakukan pengulangan imunisasi.
Meski tak perlu ada perlakuan khusus, untuk meredakan bengkak dan membuat anak nyaman setelah imunisasi orang tua bisa mengompres dengan air dingin agar bengkak tidak semakin berat. Sementara pada bisul dan luka bernanah, cukup diseka menggunakan air hangat dan kain kasa. Si kecil juga tetap boleh mandi dan luka terkena air sabun, hanya saja jangan sampai dipencet-pencet bisulnya.

Katanya, vaksin MMR menyebabkan autisme?

Imunisasi untuk anak.  Foto: Shutterstock
Salah, Moms! Isu tentang vaksin MMR menyebabkan autisme, menurut Prof. Soedjatmiko, disebarkan oleh seorang Dokter Ahli Bedah Inggris, Wakefield, hanya dengan responden 18 anak. Ternyata ada pemalsuan data dan metodenya dinyatakan tidak sahih oleh tim British Medical Association diumumkan resmi dalam British Medical Journal Februari 2011. Hasil 26 penelitian pakar-pakar lain menyatakan tidak ada hubungan vaksin dan autisme.
Semoga dengan mengetahui berbagai fakta seputar imunisasi, Anda kini tidak ragu lagi untuk memberikan anak vaksin, sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan Ikatan Dokter Anak Indonesia