Jakarta – Afrika Selatan baru-baru ini tengah disorot publik setelah melaporkan kasus kematian akibat cacar monyet ‘Mpox’. Kini sudah ada dua kasus kematian akibat virus tersebut yang diumumkan oleh Menteri Kesehatan Afrika Selatan Joe Phaahla dalam waktu kurang dari 24 jam.
“Kedua pria tersebut, berusia 37 dan 38 tahun, telah dites dan terbukti meninggal akibat virus tersebut,” kata Phaahla, dikutip dari BBC.

Diketahui, Afrika Selatan telah mencatat lima kasus mpox pada tahun 2022 dan tidak ada kematian, dan tidak ada kasus pada tahun 2023. Kemudian kini ada enam kasus yang telah tercatat di negara itu pada tahun 2024, dua kasus di Gauteng, dan empat kasus di KwaZulu-Natal. Semua kasus yang dilaporkan tergolong parah dan memerlukan perawatan intensif.

Semua pria yang terdiagnosis adalah berusia antara 30 hingga 39 tahun, dan belum pernah ke negara lain yang pernah mengalami wabah ini. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit ini ditularkan secara lokal. Mpox, sebelumnya disebut monkeypox, adalah infeksi virus yang ditularkan melalui kontak dekat.

Gejala awal berupa demam, sakit kepala, bengkak, nyeri punggung, nyeri otot, yang disertai ruam. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan keadaan darurat kesehatan masyarakat atas wabah mpox pada tahun 2022. Meskipun keadaan ini telah berakhir tahun lalu, tingkat kasus yang dilaporkan masih rendah di beberapa negara.

“Satu kematian terlalu banyak, terutama akibat penyakit yang dapat dicegah dan ditangani,” kata Phaahla pada hari Rabu. Ia juga mendesak mereka yang diduga memiliki gejala Mpox untuk mencari pertolongan medis dan membantu melacak kontak.

Phaahla mengatakan enam pasien yang didiagnosis mengidap defisiensi imun, dan telah tertular penyakit tersebut sejak awal Mei. Dia mencatat bahwa virus tersebut telah dilaporkan di lebih dari 100 negara sejak tahun 2022.

Dua dari pasien yang terinfeksi telah diizinkan pulang, sementara dua lainnya masih dirawat di rumah sakit. Siapa pun yang melakukan kontak dengan korban jiwa akan dipantau selama 21 hari.

Sebelumnya, kasus pada manusia pertama dilaporkan di Republik Demokratik Kongo pada tahun 1970, dan penyakit ini masih menjadi endemik di negara itu, menurut WHO.