Kesalahpahaman mengenai vaksin atau imunisasi jadi salah satu penyebab turunnya angka cakupan imunisasi di berbagai negara. Kesalahpahaman mempengaruhi keputusan pemberian atau tidaknya vaksin pada seorang anak, hingga dapat menimbulkan penolakan bahkan sikap anti.
Mengutip keterangan Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes), pada laman resmi Kemenkes begitu juga halnya di negara kita, Moms. Kesalahpahaman masih ditemui di berbagai wilayah dan menyebabkan angka cakupan imunisasi rendah atau menurun. Contohnya angka cakupan imunsasi MR di Sumatera Barat yang rendah akibat berita-berita negatif yang dipercaya oleh masyarakat.
Data Kemenkes menunjukkan, realisasi imunisasi MR di Sumatera Barat, sampai akhir 2018 berada di angka 41,61 persen. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan cakupan Nasional yang berada di angka 72,75 persen.
Padahal menurut Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Aman Bhakti Pulungan, angka cakupan imunisasi tidak boleh turun. Penurunan cakupan imunisasi dapat menimbulkan wabah penyakit yang dapat menyebar secara luas dan cepat.
“Tahun 2020 cakupan imunisasi harus naik,” kata dr. Aman pada Temu Ilmiah Pekan Imunisasi Dunia di Gedung Kemenkes RI medio tahun lalu dr.Aman mengatakan. Salah satu caranya, dengan meluruskan kesalahpahaman tentang imunisasi.
Di bawah ini kumparanMOM merangkum berbagai kesalahpahaman yang kerap muncul terkait vaksin dan imunisasi beserta faktanya:
Salah Paham #1: Imunisasi tak bermanfaat!
Faktanya?
Imunisasi terbukti dapat merangsang kekebalan spesifik didalam tubuh bayi, anak dan remaja, sehingga mampu melawan penyakit-penyakit yang berbahaya, mencegah sakit berat, cacat dan kematian.
Karena manfaat yang sudah terbukti ini, semua negara melakukan imunisasi rutin untuk melindungi bayi, anak dan remaja terhadap penyakit-penyakit yang berbahaya, agar terhindar dari sakit berat, cacat dan kematian.
Imunisasi juga terbukti aman dan terus diawasi oleh institusi atau badan-badan resmi yang anggotanya terdiri dari para ahli dan bertugas mengawasi program imunisasi di semua negara.
Namun ada juga, orang yang menganggap imunisasi tidak bermanfaat karena setelah diimunisasi anak masih bisa terkena penyakit. Kesalahan ini umumnya muncul karena ketidakpahaman kelompok tersebut dalam menghitung efektivitas suatu vaksin dalam mencegah suatu penyakit.
“Perlindungan atau efektivitas vaksin berkisar antara 85 – 99%, tidak 100 %. Jadi ya, anak yang sudah diimunisasi masih bisa tertular penyakit tersebut, tetapi jauh lebih ringan, tidak berbahaya. Sedangkan bayi atau balita yang belum diimunisasi lengkap bila tertular penyakit tersebut bisa sakit berat, cacat atau meninggal,” ujar Prof.Dr. dr. Soedjatmiko, SpA(K), MSi, anggota Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada kumparanMOM.
Ia berpesan, salah bila ada yang menganggap penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi sebagai kewajaran atau ‘takdir’.
Apalagi penyakit seperti campak, gondongan, dan rubela merupakan penyakit serius dan dapat menyebabkan komplikasi yang serius baik pada dewasa maupun anak-anak, termasuk pneumonia, radang otak, kebutaan, diare, infeksi telinga, hingga kematian.
“Jadi pemberian vaksin itu untuk mencegah. Tidak boleh pasrah saja karena anggapan menerima atau tidak menerima vaksin tetap akan terkena suatu penyakit. Manusia harus ada ikthiar, lakukan apa yang kita bisa,” lanjut dr. Soedjatmiko yang juga menjabat sebagai Ketua Divisi Tumbuh Kembang-Pediatri Sosial, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI, RSCM dan anggota Indonesia Technical Advisory Group for Immunization (ITAGI).
Jadi kegagalan dalam memberikan vaksin membuat anak-anak rentan terhadap penyakit yang seharusnya tidak perlu.
Salah Paham #2: Imunisasi sudah tidak diperlukan karena banyak penyakit sudah punah dan tidak ada wabah di negeri kita!
Faktanya?
Walaupun penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi sudah jarang ditemui di banyak negara, agen infeksius yang menyebabkan penyakit tersebut masih tetap beredar di beberapa bagian di dunia. Agen-agen ini dapat menyebar melewati batas geografis dan menginfeksi siapa pun yang belum terlindungi.
Mengutip laman IDAI, di Eropa Barat, misalnya, wabah campak terjadi di populasi yang tidak divaksinasi di Austria, Belgia, Denmark, Perancis, Jerman, Itali, Spanyol, Swiss, dan Inggris sejak 2005.
Jadi dua alasan utama untuk vaksinasi adalah untuk melindungi diri kita dan orang-orang sekeliling kita. Program vaksinasi yang berhasil, seperti masyarakat yang berhasil, tergantung dari kerja sama setiap individu untuk menjamin kebaikan bersama.
Salah Paham #3: Tanpa imunisasi, tubuh bisa secara alami membentuk kekebalan sendiri ketika terkena penyakit
Faktanya?
Vaksin berinteraksi dengan sistem kekebalan tubuh kita untuk menghasilkan respons kebal atau imun yang sama dengan respons imun infeksi alamiah, tetapi vaksin tidak dapat menyebabkan sakit atau membuat seseorang menderita komplikasi.
Sebaliknya, dampak yang didapat dari infeksi alamiah Haemophilus influenzae tipe b (Hib) adalah retardasi mental, dari rubela berupa cacat bawaan lahir, dari virus hepatitis B berupa kanker hati, atau kematian akibat campak.
Bagaimana dengan ASI yang bisa membantu kekebalan tubuh bayi?
Prof. DR. dr. Soedjatmiko, SpA (K), Msi, menejelaskan pemberian ASI dan imunisasi sama-sama diperlukan oleh anak. Imunisasi diperlukan untuk melindungi si kecil dari penyakit-penyakit spesifik berbahaya. Sedangkan ASI diperlukan untuk perlindungan kesehatan yang bersifat umum.
Penelitian juga sudah membuktikan, kadar antibodi (zat kekebalan) bayi dan anak yang mendapat ASI dan telah diimunisasi jauh lebih tinggi daripada bayi & anak yang mendapat ASI tapi tidak diimunisasi, atau imunisasi tidak lengkap.
Salah Paham #4: Kualitas vaksin buatan Indonesia diragukan
Faktanya?
Semua vaksin yang digunakan oleh program imunisasi di Indonesia adalah buatan PT Biofarma, yang telah berpengalaman selama lebih 120 tahun yang diawasi dan diakui kualitasnya oleh ahli-ahli vaksin Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Tak cuma diakui oleh WHO, vaksin buatan Biofarma dibeli dan dipakai juga oleh 132 negara lain termasuk 36 negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam.
Salah Paham #5: Zat-zat di dalam vaksin berbahaya untuk tubuh, misalnya pengawet beracun atau merkuri
Faktanya?
Setiap vaksin memang mengandung pengawet untuk mencegah pertumbuhan bakteri ataupun jamur. Pengawet yang paling sering digunakan adalah timerosal. Tapi timerosal tidak berbahaya dan tidak memiliki efek buruk terhadap kesehatan.
Mengutip laman resmi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), thiomersal adalah bahan organik, senyawa yang mengandung merkuri yang ditambahkan ke beberapa vaksin sebagai pengawet. Thiomersal telah digunakan secara luas sebagai pengawet vaksin multidosis.
Zat ini tidak akan terakumulasi dalam tubuh karena cepat dimetabolisme dan dapat dikeluarkan melalui urin. Karena aman, etil merkuri sudah digunakan sebagai pengawet vaksin selama 80 tahun lebih.
Lantas kenapa sampai ada yang berpikir zat ini berbahaya?
Mungkin karena zat etil merkuri ini sering tertukar dengan metil merkuri yang merupakan zat berbahaya bagi tubuh. Metil merkuri bersifat neurotoksik dan nefrotoksik yang memiliki efek beracun terhadap sistem saraf manusia sehingga tidak digunakan sebagai pengawet.
Tapi bagaimana kalau Anda tetap merasa khawatir dengan kandungan etil merkuri dalam vaksin?
Dr. Piprim B. Yanuarso, Sp.A(K), PJS Ketua Umum PP IDAI mengatakan bahwa pada bayi usia 6 bulan yang telah diimunisasi rutin, jumlah kadar merkuri dalam vaksin yang diterima adalah 1,25 mcg/kgBB/minggu.
Angka tersebut masih sangat aman, Moms. Sebab batas maksimal kadar merkuri yang diperbolehkan oleh EPA (Environmental Protection Agency) dan WHO (Wolrd Health Organization) adalah 34 mcg/kgBB/minggu dan 159 mcg/kgBB
Tak perlu percaya juga bila Anda mendengar berita negatif lain mengenai kandungan vaksin. Misalnya isu kalau vaksin terbuat dari nanah, dibiakkan di janin anjing, babi, hingga manusia yang sengaja digugurkan.
Faktanya, isu tersebut bersumber dari isu-isu yang beredar 50 – 60 tahun lalu. Sementara kini, teknologi pembuatan vaksin berkembang sangat pesat dan sangat jauh berbeda dengan vaksin-vaksin generasi pertama.
Salah Paham #5: Program imunisasi adalah konspirasi untuk membuat bangsa Indonesia lemah!
Faktanya?
Negara-negara yang cakupan imunisasi lebih tinggi justru kekebalannya lebih merata, lebih kuat, jarang terjadi wabah, dan memiliki angka kematian lebih rendah.
Sebaliknya, negara yang cakupan imunisasinya rendah justru kekebalan tidak merata, lebih mudah terjadi wabah, sakit berat, cacat dan kematian.
Jadi hingga kini tidak ada bukti yang menunjukan bahwa vaksin berbahaya, berisiko pada kesehatan, atau melemahkan. Kalau memang imunisasi berbahaya, tidak mungkin semua negara berusaha untuk memberikan imunisasi > 90 % bayi dan balita untuk mencegah wabah melanda.
Perlu diketahui, pada Mei 2017, Menteri Kesehatan dari 194 negara berkomitmen mendukung tercapainya target imunisasi dalam program Global Vaccine Action Plan (GVAP) yang dicanangkan WHO. Dalam program itu, negara-negara diminta meningkatkan cakupan imunisasi hingga 90 persen secara nasional pada tahun 2020 ini.
Salah Paham #6: Pemberian vaksin dapat menyebabkan autisme hingga sindrom kematian mendadak
Faktanya?
Keduanya cuma isu belaka dan tidak dapat dibuktikan.
Pada tahun 1998 seorang dokter membuat pernyataan bahwa terdapat hubungan antara vaksin MMR dengan autisme.
Pernyataan ini dikeluarkan Dr. Wakefield, melalui tulisan dalam jurnal kedokteran The Lancet di mana ia mengaku sebagai ahli vaksin yang melakukan penelitian pada anak-anak di Inggris pada tahun 1998.
Faktanya, Wakefield menipu. Pertama, ia bukanlah seorang ahli vaksin atau imunisasi, juga bukan psikolog atau ahli autisme. Wakefield tercatat sebagai seorang dokter bedah digestif atau gangguan kesehatan yang terjadi pada bagian pencernaan tubuh.
Kedua, Wakefield ternyata hanya meneliti 12 anak saja di mana 5 dari 12 anak yang diteliti diketahui sudah memeiliki masalah perkembangan sebelum divaksinasi dan 7 di antaranya tidak autis.
Bukan cuma itu, Wakefield juga terbukti memalsukan data atau riwayat pasien dan menggunakan metode penelitian yang tidak sahih sehingga jelas saja kesimpulannya salah. Wakefield pun diketahui menerima USD 674.000 dari pengacara yang menangani tuntutan orang tua.
Karena perbuatan tercelanya ini, tulisan Wakefield akhirnya juga dicabut, begitu juga dengan izin prakteknya karena telah menyalahgunakan posisi dan profesinya. Hal ini sudah pernah diumumkan resmi dalam majalah kedokteran Inggris British Medical Journal pada Februari 2011.
Begitu juga soal penyebab sindrom kematian bayi mendadak (Sudden Infant Death Syndrome atau SIDS), tidak ada hubungan sebab-akibat antara pemberian vaksin atau imunisasi.
IDAI menjelaskan, kesalahpahaman ini kerap dikaitkan dengan pemberian vaksin kombinasi difteri, tetanus, dan pertusis (batuk rejan) dan vaksin polio karena vaksin mulai diberikan pada masa ketika bayi dapat mengalami SIDS.